Bupati Kutim Isran Noor menegaskan, salah satu alasan pencabutan izin tersebut adalah laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan data-data yang diberikan Churchill palsu.
"Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan BPK pada 2006-2008, lima Kuasa Pertambangan (KP) yang dimiliki Grup Ridlatama (anak usaha Churchill) data-datanya diindikasikan palsu," kata Isran Noor ketika ditemui di Gedung International Financial Centre, Jakarta, Jumat (15/6/2012).
Isran mengatakan, data-data tersebut diindikasi palsu dikarenakan kode penomoran pada nomor izin KP tersebut terbalik. "Sebetulnya ini saja sudah bisa dipidanakan, tetapi belum ada pihak yang melaporkannya ke kepolisian," ujar Isran.
Alasan kedua, kata Isran, KP yang dipegang oleh Ridlatama tidak terdaftar oleh Dinas Pertambangan maupun Planologi Kabupaten Kutai Timur.
"Apalagi wilayah kerja KP yang diklaim Ridlatama ternyata tumpang tindih dengan Nusantara Grup di mana diketahui dimiliki oleh Prabowo Subianto, pasalnya Nusantara Grup mendapatkan izin perpanjangan dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur," ungkap Isran.
Atas perpanjangan tersebut keduanya (Radlatama dan Nusantara Grup berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). "Namun sampai ke Mahkamah Agung dan telah keluar putusan tetap Radlatama kalah dan KP tetap dimiliki oleh Nusantara Gruop," ujarnya.
Selain itu, 4 perusahaan yang tergabung dalam Grup Radlatama beroperasi di atas kawasan hutan produksi. "Empat perusahaan tersebut oleh Kementerian Kehutanan dinyatakan telah beroperasi di atas kawasan hutan produksi, sehingga harus mendapat izin terdahulu dari Menteri Kehutanan, sementara Menteri Kehutanan tidak pernah mengelurkan izin," ungkapnya.
Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut, apalagi dengan rekomendasi dari Menteri Kehutanan supaya izin ke 4 perusahaan tersebut dicabut, maka Pemerintah Kabupeten Kutai Timur memutuskan untuk mencabut izin ke 4 perusahaan Radlatama.
Isran mengungkapkan berbahaya jika Churchill sampai mengalahkan Indonesia di Pengadilan Arbitrase di International Centre Fot Settlement of Invesment Dispute di Washington.
"Pasalnya tuntutan mereka sangat besar sekali US$ 2 miliar (Rp 18 triliun), paling besar dari tuntutan yang pernah di alami Indonesia di Pengadilan Arbitrase Internasional," kata Isran.
Dicontohkan Isran, salah satu kasus tuntutan arbitrase yang dialamatkan kepada Indonesia yakni tuntutan 2 pemegang saham Bank Century ke pengadilan arbitrase hanya sebesar US$ 70 juta.
"Kasus kedua yakni PT. Karaha Bodas Company (KBC) dimana menuntut lebih dari US$ 300 juta. kasus ini saja sangat membuat repot pemerintah Indonesia," katanya.
Pasalnya, putusan arbitrase yang dikeluarkan International Centre Fot Settlement of Invesment Dispute sangat diakui banyak negara apalagi badan ini berada di bawah naungan World Bank (Bank Dunia).
"Ada 146 negara yang mefatifikasi nternational Centre Fot Settlement of Invesment Dispute, jadi putusannya sangat diakui, sepeti kasusnya Karaha Bodas dimana mereka menyita aset-aset milik Pertamina," ungkapnya.
Namun Pihaknya tidak akan mundur bahkan tidak akan membuka jalan untuk melakukan negosiasi kepada Churchill. "Kita sudah berpengalaman kita pernah melawan BP (inggris) dan beberapa kasus lagi, jadi kami tidak takut dan tidak akan membuka peluang untuk melakukan negosiasi," tandasnya.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar